Mengenal Beberapa Tokoh Tasawuf Terkemuka

1. Al-Hasan al-Bashri (21 – 110 H / 642 – 728 M)
Nama lengkapnya adalah al-Hasan bin Abi al-Hasan Yasar, al-Bashri, nama julukannya Abu Said. Lahir pada tahun 21 H / 642 M, yakni pada masa pemerintahan Khalifah Umar bin Khattab Ra. Ayahnya seorang keturunan Persia bernama Yasar. Ia lahir dan dibesarkan dalam naungan kasih sayang Ummu Salamah, salah seorang istri Rasulullah Saw. Ia mulai berinteraksi dengan para sahabat di masa pemerintahan Utsman bin Affan Ra. Dan ketika Ali bin Abi Thalib menggantikan Utsman Ra sebagai khalifah, al-Hasan telah berumur 14 (empat belas) tahun, dan mulai belajar keilmuan Islam secara serius kepada lebih dari 300 (tiga ratus) orang sahabat.
Al-Hasan dikenal piawai dalam ilmu aqidah, mahir dalam retorika, serta masyhur dengan kezuhudan dan kehalusan budinya. Sekalipun pada masanya istilah sufi maupun tasawuf belum dikenal, akan tetapi ia dianggap oleh kalangan ulama tasawuf sebagai tokoh yang konsisten dalam kezuhudan, kekhusyukan dan ketawadhu’annya. Ia meninggalkan beberapa surat (rasa’il) yang sangat berharga, dengan menggunakan uslub yang mudah dicerna dan dipahami, menggunakan pendekatan hati dan rasa untuk menggugah dan membangkitkan gairah keimanan dan ketakwaan kepada Allah Swt.(11) (Mausu’ah a’lam al-fikr al-Islami, Majlis al-a’la li as-syu’un al-Islamiyah, hal. 259-262)

2. Rabi’ah al-’Adawiyah (95 – 135 H).
Nama lengkapnya adalah Rabi’ah binti Isma’il al-’Adawiyah, julukannya Ummu al-Khair, al-Bashriyah. Seorang muslimah kelahiran Bashrah Irak, yang dikenal shalihah, zahidah, dan sangat tekun dalam beribadah dan bermunajat kepada Allah Swt. Ia masyhur karena filosofi “mahabbah” atau “cinta”nya dalam beribadah. Salah satu do’a munajat “cinta”nya yang terkenal adalah sebagai berikut:

Artinya: “Wahai Tuhanku, jikalau aku beribadah kepada-Mu karena takut neraka-Mu, maka jerumuskanlah aku ke dalamnya, dan jikalau aku beribadah kepada-Mu karena mengharap syurga-Mu, maka halangilah aku darinya, akan tetapi jikalau aku beribadah kepada-Mu karena cinta dan mengharap ridha-Mu, maka jangan Kau halangi aku untuk melihat Wajah-Mu).(12) (al-Wafi bi al-wafiyat, Shalahuddin Khalil bin Abik as-Shafadi, juz 4, hal. 435, lihat pula al-A’lam, Khairuddin az-Zarkali, juz 3, hal. 10, serta Qadhiyyah at-tasawwuf, hal. 42)

3. Ibrahim bin Adham (w. 161 H / 778 M)
Nama lengkapnya Abu Ishak Ibrahim bin Adham bin Manshur. Lahir di Mekah, dan setelah ia lahir ibunya berkeliling meminta do’a kepada masyarakat agar anaknya dijadikan anak shalih. Keluarganya berasal dari ” Balkh “, sebuah kota yang terkenal di Khurasan. Ayahnya seorang pejabat tinggi di Khurasan, dan karenanya ia hidup di lingkungan yang serba berkelebihan dalam hal harta dan kesenangan dunia. Suatu hari ketika ia sedang berburu binatang di hutan, ia menjumpai kelinci atau serigala, dan ketika ia mengarahkan panahnya kepada binatang itu, ia mendengar suara tanpa ujud: “Bukan untuk ini engkau diciptakan, dan bukan untuk ini pula engkau diperintahkan! “. Ia tengok kanan-kiri, akan tetapi tidak ia jumpai sumber suara tersebut. Kemudian ia lanjutkan perburuannya, akan tetapi ia mendengar kembali suara tersebut terulang sampai tiga kali. Kemudian ia segera pulang dan berpamitan kepada orang tuanya sambil mengenakan baju penggembala yang terbuat dari bulu domba kasar menuju kampung kecil, kemudian ke Mekah. Selanjutnya ia hidup dengan usaha dan kerja hasil keringat sendiri, dan menjadi tokoh yang dikenal dengan kesederhanaan dan kesahajaannya. Di antara do’anya yang terkenal (Ya Allah, alihkan aku dari kehinaan maksiat kepada-Mu menuju kemuliaan taat kepada-Mu!). (13) (Ar-Risalah al-Qusyairiyah, Abul Qasim Abdul Karim al-Qusyairi, hal. 63-64).

4. Abu al-Faidh Dzunnun al-Mishri (w. 245 H).
Nama lengkapnya Tsauban bin Ibrahim, pendapat lain al-Faidh Ibrahim, ayahnya berasal dari “Naubi”, sebuah desa di Mesir. Ia dikenal sebagai seorang yang alim dan wara’. Suatu hari ia diundang oleh al-Mutawakkil untuk dimintai nasihatnya. Maka Dzunnun memberinya nasehat sehingga membuat Sultan menangis. Ungkapan tasawufnya yang terkenal: ” (seorang yang ma’rifat kepada Allah setiap hari semakin bertambah khusyu’nya, karena setiap saat ia bertambah dekat (kepada Allah Swt).(14) (Ar-Risalah al-Qusyairiyah, hal. 65).

5. Abu al-Qasim al-Junaid al-Baghdadi (215 – 297 H / 830 – 910 M).
Nama lengkapnya Abu al-Qasim al-Junaid bin Muhammad bin al-Junaid al-Khazzaz al-Qawariri, berasal dari Nahawand, tetapi lahir dan besar di Irak. Ia seorang ahli fiqih dan penganut madzhab “Abi Tsaur”, salah seorang murid Imam Syafi’i. Pada saat berumur dua puluh tahun ia sudah dipercaya memberikan fatwa. Ia juga seorang ahli kalam yang masyhur. Ia dikenal di kalangan para sufi sunni sebagai “sayyid at-tha’ifah” (pemimpin golongan) dan “thawus al-ulama” atau “burung meraknya para ulama”. Al-Junaid dikenal sebagai sufi sunni yang menentang keras pendapat bahwa tasawuf bebas syari’ah. Menurutnya seorang sufi justru adalah orang yang senantiasa konsisten kepada aqidah dan syari’ah. Al-Junaid adalah penulis kitab kalam dan tasawuf yang cukup produktif, meninggal di Baghdad tahun 297 M / 910 M).(15) (Ar-Risalah, hal. 86, lihat juga Mausu’ah A’lam, hal 230-231).

6. Abu as-Siraj at-Thusi (w. 387 H / 988 M).
Nama lengkapnya Abu Nashr Abdullah bin Ali bin Muhammad as-Siraj, berasal dari “Thus” Khurasan. Ia lahir di Thus dan dibesarkan di daerah tersebut, dan merupakan guru besar dalam bidang tasawuf serta ilmunya. Ia adalah pengarang kitab tasawuf yang sangat monumental “al-luma’”, yang menurut para ulama merupakan kitab pertama ilmu tasawuf yang paling representatif dan dijadikan rujukan utama generasi berikutnya dalam mengkaji tasawuf dan ilmunya.(16) (Mausu’ah A’lam, hal. 569-570).

7. Abu Hamid al-Ghazali (450 – 505 H / 1058 – 1111 M).
Nama lengkapnya Muhammad bin Muhammad bin Muhammad al-Ghazali, julukannya adalah “hujjatul Islam” dan “zainuddin at-Thusi” atau “hiasan agama yang berasal dari Thus”, Khurasan. Nisbat “al-ghazali” kepada “ghazl as-shuf” atau pemintal kain wol atau “ghazalah”, sebuah desa di Thus Khurasan. Ia lahir dari keluarga miskin yang shalih. Ayahnya seorang pemintal kain dari bulu domba yang tidak pernah makan kecuali hasil dari keringat sendiri. Ia rajin menghadiri majelis pengajian para fuqaha, dan apabila ia mendengar pelajaran dari mereka, ia selalu menangis dan berdo’a kepada Allah Swt agar dianugerahi seorang anak yang faqih. Demikian pula ketika mengikuti pengajian dari ulama yang ahli memberikan nasehat, iapun menangis seraya memohon kepada Allah Swt agar dikaruniai anak yang wa’idz (pandai memberikan nasehat). Dari orang tua seperti inilah lahir al-Ghazali yang sangat masyhur dengan keulamaan dan kezuhudannya. Ia seorang faqih, mutakallim, ushuli, failasuf dan shufi. Kitab-kitabnya sampai sekarang masih menjadi rujukan idola para pencari ilmu dan ulama di seantero jagat ini. Di antara kitabnya yang termashur adalah “ihya ulum ad-din”, “al-adab fi ad-din’, al-arba’in fi ushul ad-din’, “asrar al-hajj”, “al-iqtishad fi al-I’tiqad”, “tahafut al-falasifah” dan “al-mustashfa” .(17) (Mausu’ah A’lam, hal. 786-788)

Seputar Buku-Buku Terpenting dalam Tasawuf

Dr. Is’ad Abdul Hadi Qandil dalam “dirasah dan ta’liq”nya terhadap kitab “Kasyf al-Mahjub” karya Abu al-Hasan Ali bin Utsman al-Hujwairi al-Ghaznawi (w. 465 H) memberikan gambaran yang cukup jelas dan kongkrit tentang beberapa kitab (baca: turats) terpenting yang dijadikan rujukan untuk mengkaji tasawuf, dimulai dari generasi pengarang pertama kitab ilmu tasawuf Abu Nashr as-Siraj at-Thusi (w. 378 H) sampai abad ke sembilan hijriah. Kitab-kitab tersebut antara lain:
1. “Al-Luma’” karya Abu Nashr Abdullah bin Ali as-Siraj at-Thusi, yang dikenal dengan julukan “thawus al-fuqara” (burung meraknya orang fakir). Kitab ini tergolong sebagai rujukan terbesar, terpercaya dan paling representatif dalam tasawuf. Ia diibaratkan sebagai ibu dari kitab-kitab tasawuf yang lain, karena hampir semua pengarang kitab tasawuf selalu merujuk kepada kitab ini, baik dalam hal isi, pengaturan bab dan pasal maupun metodologinya.
As-Siraj membagi kitab ini ke dalam dua bagian:
Bagian Pertama: berisi sejumlah bab pendek, yang mengupas tentang ilmu tasawuf, madzhab para sufi dan kedudukan mereka, tingkatan (thabaqat) ahli hadits, ahli fiqih dan ilmu-ilmu yang mereka letakkan dasar-dasarnya, definisi tasawuf dan sifatnya, tentang tauhid, muwahhid dan ‘arif dan perbedaan antara mukmin dan ‘arif.
Bagian Kedua: berisi beberapa bagian (as-Siraj menggunakan istilah “kitab”) yang di dalamnya terdapat beberapa bab pendek. Bagian-bagian (kitab-kitab) tersebut adalah:
• Kitab al-ahwal wa al-maqamat.
• Kitab ahl as-shafwah fi al-fahm wa al-ittiba’ li kitabillah azza wa jalla.
• Kitab al-uswah wa al-iqtida bi rasulillah Saw.
• Kitab al-mustanbathat.
• Kitab as-sahabah.
• Kitab adab al-mutashawwifah.
• Kitab al-makatibat wa as-shudur wa al-asy’ar wa ad-da’awat wa ar-rasa’il.
• Kitab as-sima’.
• Kitab al-wujd.
• Kitab itsbat al-karamat.
• Kitab al-bayan ‘an al-musykilat.
• Kitab tafsir as-syathhiyyat wa al-kalimat.

Sekalipun kitab ini adalah kitab yang sangat monumental, lengkap, didukung dengan metodologinya yang sempurna, akan tetapi dalam kitab ini tidak tampak sosok pengarang sebagai pencetus ide dan pelempar gagasan, karena as-Siraj hanya sekedar menukil dan memaparkan pendapat para ulama pendahulunya, tanpa berupaya memberikan komentar, analisis atau mengungkapkan pendapatnya.

2. “Thabaqat as-Shufiyah” karya Muhammad bin al-Husain bin Musa bi Khalid bin Rawiyah bin Sa’d bin Qubaishah bin Suraqah. Seorang Arab, yang dikenal dengan nama Abu Abdurrahman as-Sullami (w. 412 H). Ia berguru kepada banyak ulama, di antaranya Abu Nashr at-Thusi. As-Sullami memiliki banyak karangan dalam tafsir, hadits dan tasawuf. Sebenarnya ia bukan ulama pertama yang mengarang thabaqat para sufi, akan tetapi kitab-kitab yang dijadikan rujukan oleh as-Sullami tidak terlacak keberadaannya hingga kini. Dalam kitab riwayat hidup ini as-sullami membagi thabaqat para sufi ke dalam lima tingkatan, dan setiap tingkatan terdiri dari dua puluh ulama dan syuyukh sufi. Kitab ini dicetak pertama kali di Kairo, kemudian di tahqiq dan diterbitkan oleh Nuruddin Syuraibah pada tahun 1953 M.

3. “Ar-Risalah” karangan Abu al-Qasim Abdul Karim bin Hawazin al-Qusyairi (w. 465 H). Ia lahir di sebuah desa di Khurasan, akan tetapi ia adalah keturunan Arab dari Kabilah Qusyair bin Ka’b. Banyak karangan yang dipersembahkan oleh al-Qusyairi, akan tetapi “ar-Risalah” inilah karyanya yang termasyhur.
Al-Qusyairi membagi kitab ini ke dakam dua bagian, yakni:
Bagian Pertama: memaparkan riwayat hidup para sufi dan sebagian pernyataan tentang tasawuf yang mereka lontarkan.
Bagian Kedua: menjelaskan tentang prinsip-prinsip suluk (tatanan prilaku tasawuf) dan manhajnya, di antaranya tentang waktu, maqam, hal, mukasyafah, musyahadah, taubat, mujahadah, taqwa, syukr, zuhud dan sebagainya.

4. “Kasyf al-Mahjub” karya Abu al-Hasan Ali bin Utsman al-Hujwairi al-Ghaznawi (w. 465 H), yang lahir di “ghaznah”, sebuah kota di Afganistan. Kasyf al-Mahjub merupakan kitab tasawuf berbahasa Persia yang paling monumental yang menjadi rujukan utama kalangan ulama maupun akademisi di kawasan Timur dalam mengkaji disiplin ilmu tasawuf.
Kitab ini secara tematik terbagi ke dalam tujuh bab, yaitu:
• Abwab tanawul al-ushul as-sufiyyah.
• Abwab ta’aluj al-masa’il al-far’iyyah.
• Qism khash bi tarajum as-syuyukh.
• Qism Khash bi firaq as-shufiyyah.
• Qism Khash bi al-’aqa’id ad-diniyyah.
• Qism Khash bi al-ibadat.
Aqsam tentang adab as-shufiyyah wa rumuzihim wa rusumihim.         

5. “Asrar at-Tauhid” karangan Muhammad bin al-Munawwir bin Abi Sa’id bin Abi Thahir bin Abi Sa’id bin Abi al-Khair. Tahun dikarangnya kitab ini menurut pendapat yang paling dipercaya adalah 574 H.
Kitab ini terbagi dalam tiga bab, yaitu:
Bab Pertama: menjelaskan tentang riwayat hidup pengarang dari kelahiran sampai usia empat puluh tahun.
Bab Kedua: memaparkan tentang riwayat hidup pengarang pada masa pertengahan kehidupannya.
Bab Ketiga: menjelaskan tentang riwayat hidup pengarang pada masa akhir hayatnya, serta pesan-pesannya sebelum meninggal.

6. “Tadzkirah al-Auliya”, karya Abu Thalib Muhammad bin Abi Bakar Ibrahim, yang dijuluki “Farid ad-Din”, dan lebih dikenal dengan nama “al-Aththar” (w. 627 H). Al-Aththar terhitung sebagai salah satu dari tiga orang penya’ir sufi terkemuka di Iran, yaitu as-Sana’i, al-Aththar dan Jalaluddin ar-Rumi. Ia adalah seorang dokter dan memiliki apotik sendiri. Kitab “Tadzkirah al-Auliya” adalah kitab riwayat hidup para wali, para sufi dan syuyukh tarekat. Ia merupakan kitab riwayat hidup para sufi berbahasa Persia paling awal yang dikarang oleh seorang ulama.

7. “‘Awarif al-Ma’arif” karya Syihabuddin Abi Hafs Umar bin Muhammad bin Abdullah as-Sahrawardi al-Baghdadi (w. 632 H), seorang ahli fiqih, ushuli, adib, ahli sya’ir, ahli hikmah, ahli munadzarah dan berbagai macam keahlian yang lain, juga seorang pengarang kitab yang produktif.
As-sahrawardi membagi kitab ini secara tematis ke dalam enam puluh tiga (63) bab, yang memaparkan tentang hal-hal yang berkaitan dengan tasawuf, baik esensinya, sejarah perkembangannya, keutamaannya dan hal-hal lain yang berkaitan dengan prinsip-prinsif tasawuf, maupun upaya-upaya yang harus dilakukan seorang sufi agar mencapai tingkatan ma’rifat kepada Allah Swt.

8. “Nafahat al-Uns” karya Nuruddin Abdurrahman bin Nidzamuddin Ahmad bin Muhammad al-Jasyati al-Jami, seorang pujangga, penya’ir dan ulama tasawuf terkemuka. Ia adalah salah satu pimpinan tarekat “Naqsyabandiyyah”, dan terhitung sebagai cucu murid dari pendiri tarekat ini, Baha’uddin an-Naqsyabandi. Kitab ini dikarang pada abad ke sembilan hijriah, tepatnya pada tahun 883 H. Al-Jami merupakan pengarang kitab yang sangat produktif, karangannya mencapai empat puluh empat (44) kitab, dalam bahasa Arab maupun Persia.

Isi kitab ini terdiri dari muqaddimah, tujuh maqulat dalam ushul as-shufiyah, dan riwayat hidup 600 sufi.(18) (Dirasah wa Tarjamah wa Ta’liq li “Kasf al-Mahjub” li al-Hujwairi, Dr. Is’ad Abdul Hadi Qandil, hal. 7, 114, dan 153163).

Posting Komentar

 
Top