Mengenal Beberapa Tokoh Tasawuf Terkemuka
Nama lengkapnya adalah al-Hasan bin Abi al-Hasan Yasar, al-Bashri,
nama julukannya Abu Said. Lahir pada tahun 21 H / 642 M, yakni pada masa
pemerintahan Khalifah Umar bin Khattab Ra. Ayahnya seorang keturunan Persia
bernama Yasar. Ia lahir dan dibesarkan dalam naungan kasih sayang Ummu Salamah,
salah seorang istri Rasulullah Saw. Ia mulai berinteraksi dengan para sahabat
di masa pemerintahan Utsman bin Affan Ra. Dan ketika Ali bin Abi Thalib
menggantikan Utsman Ra sebagai khalifah, al-Hasan telah berumur 14 (empat
belas) tahun, dan mulai belajar keilmuan Islam secara serius kepada lebih dari
300 (tiga ratus) orang sahabat.
Al-Hasan dikenal piawai dalam ilmu aqidah, mahir dalam retorika,
serta masyhur dengan kezuhudan dan kehalusan budinya. Sekalipun pada masanya
istilah sufi maupun tasawuf belum dikenal, akan tetapi ia dianggap oleh
kalangan ulama tasawuf sebagai tokoh yang konsisten dalam kezuhudan,
kekhusyukan dan ketawadhu’annya. Ia meninggalkan beberapa surat (rasa’il) yang
sangat berharga, dengan menggunakan uslub yang mudah dicerna dan dipahami,
menggunakan pendekatan hati dan rasa untuk menggugah dan membangkitkan gairah
keimanan dan ketakwaan kepada Allah Swt.(11) (Mausu’ah a’lam al-fikr al-Islami,
Majlis al-a’la li as-syu’un al-Islamiyah, hal. 259-262)
2. Rabi’ah al-’Adawiyah (95 – 135 H).
Nama lengkapnya adalah Rabi’ah binti Isma’il al-’Adawiyah,
julukannya Ummu al-Khair, al-Bashriyah. Seorang muslimah kelahiran Bashrah
Irak, yang dikenal shalihah, zahidah, dan sangat tekun dalam beribadah dan
bermunajat kepada Allah Swt. Ia masyhur karena filosofi “mahabbah” atau
“cinta”nya dalam beribadah. Salah satu do’a munajat “cinta”nya yang terkenal
adalah sebagai berikut:
Artinya: “Wahai Tuhanku, jikalau aku beribadah kepada-Mu karena
takut neraka-Mu, maka jerumuskanlah aku ke dalamnya, dan jikalau aku beribadah
kepada-Mu karena mengharap syurga-Mu, maka halangilah aku darinya, akan tetapi
jikalau aku beribadah kepada-Mu karena cinta dan mengharap ridha-Mu, maka
jangan Kau halangi aku untuk melihat Wajah-Mu).(12) (al-Wafi bi al-wafiyat,
Shalahuddin Khalil bin Abik as-Shafadi, juz 4, hal. 435, lihat pula al-A’lam,
Khairuddin az-Zarkali, juz 3, hal. 10, serta Qadhiyyah at-tasawwuf, hal. 42)
3. Ibrahim bin Adham (w. 161 H / 778 M)
Nama lengkapnya Abu Ishak Ibrahim bin Adham bin Manshur. Lahir di
Mekah, dan setelah ia lahir ibunya berkeliling meminta do’a kepada masyarakat
agar anaknya dijadikan anak shalih. Keluarganya berasal dari ” Balkh “, sebuah
kota yang terkenal di Khurasan. Ayahnya seorang pejabat tinggi di Khurasan, dan
karenanya ia hidup di lingkungan yang serba berkelebihan dalam hal harta dan
kesenangan dunia. Suatu hari ketika ia sedang berburu binatang di hutan, ia
menjumpai kelinci atau serigala, dan ketika ia mengarahkan panahnya kepada
binatang itu, ia mendengar suara tanpa ujud: “Bukan untuk ini engkau
diciptakan, dan bukan untuk ini pula engkau diperintahkan! “. Ia tengok
kanan-kiri, akan tetapi tidak ia jumpai sumber suara tersebut. Kemudian ia
lanjutkan perburuannya, akan tetapi ia mendengar kembali suara tersebut
terulang sampai tiga kali. Kemudian ia segera pulang dan berpamitan kepada
orang tuanya sambil mengenakan baju penggembala yang terbuat dari bulu domba
kasar menuju kampung kecil, kemudian ke Mekah. Selanjutnya ia hidup dengan
usaha dan kerja hasil keringat sendiri, dan menjadi tokoh yang dikenal dengan
kesederhanaan dan kesahajaannya. Di antara do’anya yang terkenal (Ya Allah,
alihkan aku dari kehinaan maksiat kepada-Mu menuju kemuliaan taat kepada-Mu!).
(13) (Ar-Risalah al-Qusyairiyah, Abul Qasim Abdul Karim al-Qusyairi, hal.
63-64).
4. Abu al-Faidh Dzunnun al-Mishri (w. 245 H).
Nama lengkapnya Tsauban bin Ibrahim, pendapat lain al-Faidh
Ibrahim, ayahnya berasal dari “Naubi”, sebuah desa di Mesir. Ia dikenal sebagai
seorang yang alim dan wara’. Suatu hari ia diundang oleh al-Mutawakkil untuk
dimintai nasihatnya. Maka Dzunnun memberinya nasehat sehingga membuat Sultan
menangis. Ungkapan tasawufnya yang terkenal: ” (seorang yang ma’rifat kepada
Allah setiap hari semakin bertambah khusyu’nya, karena setiap saat ia bertambah
dekat (kepada Allah Swt).(14) (Ar-Risalah al-Qusyairiyah, hal. 65).
5. Abu al-Qasim al-Junaid al-Baghdadi (215 – 297 H / 830 – 910 M).
Nama lengkapnya Abu al-Qasim al-Junaid bin Muhammad bin al-Junaid
al-Khazzaz al-Qawariri, berasal dari Nahawand, tetapi lahir dan besar di Irak.
Ia seorang ahli fiqih dan penganut madzhab “Abi Tsaur”, salah seorang murid
Imam Syafi’i. Pada saat berumur dua puluh tahun ia sudah dipercaya memberikan
fatwa. Ia juga seorang ahli kalam yang masyhur. Ia dikenal di kalangan para
sufi sunni sebagai “sayyid at-tha’ifah” (pemimpin golongan) dan “thawus
al-ulama” atau “burung meraknya para ulama”. Al-Junaid dikenal sebagai sufi
sunni yang menentang keras pendapat bahwa tasawuf bebas syari’ah. Menurutnya
seorang sufi justru adalah orang yang senantiasa konsisten kepada aqidah dan
syari’ah. Al-Junaid adalah penulis kitab kalam dan tasawuf yang cukup
produktif, meninggal di Baghdad tahun 297 M / 910 M).(15) (Ar-Risalah, hal. 86,
lihat juga Mausu’ah A’lam, hal 230-231).
6. Abu as-Siraj at-Thusi (w. 387 H / 988 M).
Nama lengkapnya Abu Nashr Abdullah bin Ali bin Muhammad as-Siraj,
berasal dari “Thus” Khurasan. Ia lahir di Thus dan dibesarkan di daerah
tersebut, dan merupakan guru besar dalam bidang tasawuf serta ilmunya. Ia
adalah pengarang kitab tasawuf yang sangat monumental “al-luma’”, yang menurut
para ulama merupakan kitab pertama ilmu tasawuf yang paling representatif dan
dijadikan rujukan utama generasi berikutnya dalam mengkaji tasawuf dan ilmunya.(16)
(Mausu’ah A’lam, hal. 569-570).
7. Abu Hamid al-Ghazali (450 – 505 H / 1058 – 1111 M).
Nama lengkapnya Muhammad bin Muhammad bin Muhammad al-Ghazali,
julukannya adalah “hujjatul Islam” dan “zainuddin at-Thusi” atau “hiasan agama
yang berasal dari Thus”, Khurasan. Nisbat “al-ghazali” kepada “ghazl as-shuf”
atau pemintal kain wol atau “ghazalah”, sebuah desa di Thus Khurasan. Ia lahir
dari keluarga miskin yang shalih. Ayahnya seorang pemintal kain dari bulu domba
yang tidak pernah makan kecuali hasil dari keringat sendiri. Ia rajin
menghadiri majelis pengajian para fuqaha, dan apabila ia mendengar pelajaran
dari mereka, ia selalu menangis dan berdo’a kepada Allah Swt agar dianugerahi
seorang anak yang faqih. Demikian pula ketika mengikuti pengajian dari ulama
yang ahli memberikan nasehat, iapun menangis seraya memohon kepada Allah Swt
agar dikaruniai anak yang wa’idz (pandai memberikan nasehat). Dari orang tua
seperti inilah lahir al-Ghazali yang sangat masyhur dengan keulamaan dan
kezuhudannya. Ia seorang faqih, mutakallim, ushuli, failasuf dan shufi.
Kitab-kitabnya sampai sekarang masih menjadi rujukan idola para pencari ilmu
dan ulama di seantero jagat ini. Di antara kitabnya yang termashur adalah “ihya
ulum ad-din”, “al-adab fi ad-din’, al-arba’in fi ushul ad-din’, “asrar
al-hajj”, “al-iqtishad fi al-I’tiqad”, “tahafut al-falasifah” dan
“al-mustashfa” .(17) (Mausu’ah A’lam, hal. 786-788)
Seputar Buku-Buku Terpenting dalam Tasawuf
Dr. Is’ad Abdul Hadi Qandil dalam “dirasah dan ta’liq”nya terhadap
kitab “Kasyf al-Mahjub” karya Abu al-Hasan Ali bin Utsman al-Hujwairi
al-Ghaznawi (w. 465 H) memberikan gambaran yang cukup jelas dan kongkrit
tentang beberapa kitab (baca: turats) terpenting yang dijadikan rujukan untuk
mengkaji tasawuf, dimulai dari generasi pengarang pertama kitab ilmu tasawuf
Abu Nashr as-Siraj at-Thusi (w. 378 H) sampai abad ke sembilan hijriah.
Kitab-kitab tersebut antara lain:
1. “Al-Luma’” karya Abu Nashr Abdullah bin Ali as-Siraj at-Thusi,
yang dikenal dengan julukan “thawus al-fuqara” (burung meraknya orang fakir).
Kitab ini tergolong sebagai rujukan terbesar, terpercaya dan paling
representatif dalam tasawuf. Ia diibaratkan sebagai ibu dari kitab-kitab
tasawuf yang lain, karena hampir semua pengarang kitab tasawuf selalu merujuk
kepada kitab ini, baik dalam hal isi, pengaturan bab dan pasal maupun
metodologinya.
As-Siraj membagi kitab ini ke dalam dua bagian:
Bagian Pertama: berisi sejumlah bab pendek, yang mengupas tentang
ilmu tasawuf, madzhab para sufi dan kedudukan mereka, tingkatan (thabaqat) ahli
hadits, ahli fiqih dan ilmu-ilmu yang mereka letakkan dasar-dasarnya, definisi
tasawuf dan sifatnya, tentang tauhid, muwahhid dan ‘arif dan perbedaan antara
mukmin dan ‘arif.
Bagian Kedua: berisi beberapa bagian (as-Siraj menggunakan istilah
“kitab”) yang di dalamnya terdapat beberapa bab pendek. Bagian-bagian
(kitab-kitab) tersebut adalah:
• Kitab al-ahwal wa al-maqamat.
• Kitab ahl as-shafwah fi al-fahm wa al-ittiba’ li kitabillah azza
wa jalla.
• Kitab al-uswah wa al-iqtida bi rasulillah Saw.
• Kitab al-mustanbathat.
• Kitab as-sahabah.
• Kitab adab al-mutashawwifah.
• Kitab al-makatibat wa as-shudur wa al-asy’ar wa ad-da’awat wa
ar-rasa’il.
• Kitab as-sima’.
• Kitab al-wujd.
• Kitab itsbat al-karamat.
• Kitab al-bayan ‘an al-musykilat.
• Kitab tafsir as-syathhiyyat wa al-kalimat.
Sekalipun kitab ini adalah kitab yang sangat monumental, lengkap,
didukung dengan metodologinya yang sempurna, akan tetapi dalam kitab ini tidak
tampak sosok pengarang sebagai pencetus ide dan pelempar gagasan, karena
as-Siraj hanya sekedar menukil dan memaparkan pendapat para ulama pendahulunya,
tanpa berupaya memberikan komentar, analisis atau mengungkapkan pendapatnya.
2. “Thabaqat as-Shufiyah” karya Muhammad bin al-Husain bin Musa bi
Khalid bin Rawiyah bin Sa’d bin Qubaishah bin Suraqah. Seorang Arab, yang
dikenal dengan nama Abu Abdurrahman as-Sullami (w. 412 H). Ia berguru kepada
banyak ulama, di antaranya Abu Nashr at-Thusi. As-Sullami memiliki banyak
karangan dalam tafsir, hadits dan tasawuf. Sebenarnya ia bukan ulama pertama
yang mengarang thabaqat para sufi, akan tetapi kitab-kitab yang dijadikan
rujukan oleh as-Sullami tidak terlacak keberadaannya hingga kini. Dalam kitab
riwayat hidup ini as-sullami membagi thabaqat para sufi ke dalam lima
tingkatan, dan setiap tingkatan terdiri dari dua puluh ulama dan syuyukh sufi.
Kitab ini dicetak pertama kali di Kairo, kemudian di tahqiq dan diterbitkan
oleh Nuruddin Syuraibah pada tahun 1953 M.
3. “Ar-Risalah” karangan Abu al-Qasim Abdul Karim bin Hawazin
al-Qusyairi (w. 465 H). Ia lahir di sebuah desa di Khurasan, akan tetapi ia
adalah keturunan Arab dari Kabilah Qusyair bin Ka’b. Banyak karangan yang
dipersembahkan oleh al-Qusyairi, akan tetapi “ar-Risalah” inilah karyanya yang
termasyhur.
Al-Qusyairi membagi kitab ini ke dakam dua bagian, yakni:
Bagian Pertama: memaparkan riwayat hidup para sufi dan sebagian
pernyataan tentang tasawuf yang mereka lontarkan.
Bagian Kedua: menjelaskan tentang prinsip-prinsip suluk (tatanan
prilaku tasawuf) dan manhajnya, di antaranya tentang waktu, maqam, hal,
mukasyafah, musyahadah, taubat, mujahadah, taqwa, syukr, zuhud dan sebagainya.
4. “Kasyf al-Mahjub” karya Abu al-Hasan Ali bin Utsman al-Hujwairi
al-Ghaznawi (w. 465 H), yang lahir di “ghaznah”, sebuah kota di Afganistan.
Kasyf al-Mahjub merupakan kitab tasawuf berbahasa Persia yang paling monumental
yang menjadi rujukan utama kalangan ulama maupun akademisi di kawasan Timur
dalam mengkaji disiplin ilmu tasawuf.
Kitab ini secara tematik terbagi ke dalam tujuh bab, yaitu:
• Abwab tanawul al-ushul as-sufiyyah.
• Abwab ta’aluj al-masa’il al-far’iyyah.
• Qism khash bi tarajum as-syuyukh.
• Qism Khash bi firaq as-shufiyyah.
• Qism Khash bi al-’aqa’id ad-diniyyah.
• Qism Khash bi al-ibadat.
Aqsam tentang adab as-shufiyyah wa rumuzihim wa rusumihim. •
5. “Asrar at-Tauhid” karangan Muhammad bin al-Munawwir bin Abi
Sa’id bin Abi Thahir bin Abi Sa’id bin Abi al-Khair. Tahun dikarangnya kitab
ini menurut pendapat yang paling dipercaya adalah 574 H.
Kitab ini terbagi dalam tiga bab, yaitu:
Bab Pertama: menjelaskan tentang riwayat hidup pengarang dari
kelahiran sampai usia empat puluh tahun.
Bab Kedua: memaparkan tentang riwayat hidup pengarang pada masa
pertengahan kehidupannya.
Bab Ketiga: menjelaskan tentang riwayat hidup pengarang pada masa
akhir hayatnya, serta pesan-pesannya sebelum meninggal.
6. “Tadzkirah al-Auliya”, karya Abu Thalib Muhammad bin Abi Bakar
Ibrahim, yang dijuluki “Farid ad-Din”, dan lebih dikenal dengan nama
“al-Aththar” (w. 627 H). Al-Aththar terhitung sebagai salah satu dari tiga
orang penya’ir sufi terkemuka di Iran, yaitu as-Sana’i, al-Aththar dan
Jalaluddin ar-Rumi. Ia adalah seorang dokter dan memiliki apotik sendiri. Kitab
“Tadzkirah al-Auliya” adalah kitab riwayat hidup para wali, para sufi dan
syuyukh tarekat. Ia merupakan kitab riwayat hidup para sufi berbahasa Persia
paling awal yang dikarang oleh seorang ulama.
7. “‘Awarif al-Ma’arif” karya Syihabuddin Abi Hafs Umar bin
Muhammad bin Abdullah as-Sahrawardi al-Baghdadi (w. 632 H), seorang ahli fiqih,
ushuli, adib, ahli sya’ir, ahli hikmah, ahli munadzarah dan berbagai macam
keahlian yang lain, juga seorang pengarang kitab yang produktif.
As-sahrawardi membagi kitab ini secara tematis ke dalam enam puluh
tiga (63) bab, yang memaparkan tentang hal-hal yang berkaitan dengan tasawuf,
baik esensinya, sejarah perkembangannya, keutamaannya dan hal-hal lain yang berkaitan
dengan prinsip-prinsif tasawuf, maupun upaya-upaya yang harus dilakukan seorang
sufi agar mencapai tingkatan ma’rifat kepada Allah Swt.
8. “Nafahat al-Uns” karya Nuruddin Abdurrahman bin Nidzamuddin
Ahmad bin Muhammad al-Jasyati al-Jami, seorang pujangga, penya’ir dan ulama
tasawuf terkemuka. Ia adalah salah satu pimpinan tarekat “Naqsyabandiyyah”, dan
terhitung sebagai cucu murid dari pendiri tarekat ini, Baha’uddin
an-Naqsyabandi. Kitab ini dikarang pada abad ke sembilan hijriah, tepatnya pada
tahun 883 H. Al-Jami merupakan pengarang kitab yang sangat produktif,
karangannya mencapai empat puluh empat (44) kitab, dalam bahasa Arab maupun
Persia.
Isi kitab ini terdiri dari muqaddimah, tujuh maqulat dalam ushul
as-shufiyah, dan riwayat hidup 600 sufi.(18) (Dirasah wa Tarjamah wa Ta’liq li
“Kasf al-Mahjub” li al-Hujwairi, Dr. Is’ad Abdul Hadi Qandil, hal. 7, 114, dan
153163).
Posting Komentar